Fenomena Doom Spending: Belanja Impulsif, Tabungan Menipis
- GRC Insight

- Oct 24
- 3 min read

Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus bergejolak, sebuah fenomena konsumsi yang mengkhawatirkan tengah merebak di kalangan generasi muda Indonesia, khususnya Gen Z. Fenomena ini dikenal dengan istilah doom spending, sebuah perilaku belanja impulsif dan berlebihan yang dilakukan sebagai mekanisme pelarian untuk meredakan kecemasan dan tekanan psikologis akibat ketidakpastian masa depan. Alih-alih menabung atau merencanakan keuangan dengan bijak, banyak anak muda justru memilih jalan pintas dengan berbelanja berbagai barang dan layanan yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, hanya untuk mendapatkan kepuasan sesaat di tengah badai kecemasan yang mereka rasakan.
Perkembangan teknologi finansial, terutama layanan paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL), telah menjadi katalis yang mempercepat laju fenomena doom spending ini. Data terbaru per Maret 2025 menunjukkan bahwa nilai transaksi pay later di Indonesia telah mencapai angka fantastis sebesar Rp8,22 triliun atau setara dengan 497 juta dolar AS, dengan pertumbuhan year-on-year yang mencapai 39,3 persen. Kemudahan akses kredit digital ini membuat generasi muda semakin mudah tergoda untuk melakukan pembelian impulsif tanpa harus memikirkan konsekuensi finansial jangka panjang.
Studi dari Katadata Insight Center mengungkapkan fakta yang cukup memprihatinkan bahwa 49 persen Gen Z mengalami kesulitan menabung, sementara 53 persen di antaranya bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari. Ironisnya, meskipun menghadapi kesulitan finansial ini, banyak dari mereka tetap terdorong melakukan doom spending sebagai coping mechanism untuk mengatasi tekanan hidup. Akumulasi utang dari berbagai platform paylater yang tidak terkontrol dapat berujung pada masalah keuangan serius, seperti cicilan yang menumpuk, credit score yang buruk, hingga jeratan debt collector.
Perilaku konsumtif yang tidak terkendali ini juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, menciptakan siklus setan di mana stres memicu belanja impulsif, yang kemudian menimbulkan stres baru akibat masalah finansial. Penelitian lokal menunjukkan bahwa interaksi media sosial, literasi keuangan, dan inklusi keuangan memiliki korelasi signifikan dengan perilaku doom spending, dengan tingkat literasi finansial nasional yang masih stagnan di angka 49,68 persen menjadi salah satu faktor utama mengapa fenomena ini sulit dibendung.
Mengatasi fenomena doom spending membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan strategis dari berbagai pihak. Langkah pertama dan terpenting adalah meningkatkan literasi finansial agar konsumen memahami konsekuensi dari belanja impulsif dan mampu mengelola anggaran serta utang dengan lebih bijak. Edukasi tentang pentingnya menabung, berinvestasi, dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan perlu terus digaungkan melalui program pemerintah maupun inisiatif swasta.
Teknik sederhana seperti menunda keputusan pembelian minimal 24 jam sebelum checkout dapat membantu seseorang mengevaluasi ulang apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau hanya keinginan sesaat yang dipicu oleh emosi. Membangun alternatif pengelolaan stres yang lebih sehat juga menjadi kunci penting, seperti mengalihkan energi ke aktivitas produktif seperti berolahraga, meditasi, mengembangkan hobi kreatif, atau menghabiskan waktu berkualitas bersama orang-orang terdekat.
Penting juga untuk mewaspadai pengaruh media sosial dan strategi marketing agresif, khususnya promosi diskon dan flash sale yang sering memicu FOMO atau fear of missing out. Platform e-commerce dan media sosial dirancang sedemikian rupa untuk membuat pengguna terus terstimulasi dan tergoda untuk berbelanja, sehingga kesadaran akan manipulasi psikologis ini menjadi benteng pertahanan yang penting.
Membuat rencana keuangan personal yang jelas dan terstruktur adalah fondasi untuk mencapai kesehatan finansial jangka panjang, mencakup alokasi untuk pengeluaran rutin, dana darurat, tabungan jangka pendek dan panjang, serta investasi untuk masa depan. Dengan memiliki roadmap keuangan yang jelas, seseorang akan lebih mudah mengidentifikasi pengeluaran mana yang produktif dan mana yang hanya menguras kantong tanpa memberikan nilai tambah.
Fenomena doom spending merupakan tantangan nyata yang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, baik individu, institusi pendidikan, pelaku industri finansial, maupun pemerintah. Dengan memahami akar masalah ekonomi dan psikologis dibalik perilaku ini, serta mengadopsi strategi yang tepat, generasi muda dapat bertransformasi menjadi pelaku ekonomi yang lebih sehat, rasional, dan berkelanjutan.
Sumber:
https://www.antaranews.com/berita/5167829/menelaah-tren-doom-spending-gen-z-sebagai-motor-penggerak-ekonomi?page=all https://www.cnbc.com/2024/09/23/young-people-are-doom-spending-heres-what-it-is-and-how-to-stop-it.html
https://ejurnal.kampusakademik.co.id/index.php/jrme/article/view/4511 https://www.cnbcindonesia.com/news/20250829065006-4-662367/terkena-tren-doom-spending-gen-z-jadi-penyelamat-ekonomi-ri https://kumparan.com/maulana-alif-rasyidi/regulasi-bnpl-dan-krisis-finansial-gen-z-analisis-dampak-doom-spending-2025-24Uchwx57OF


