top of page

Green Tech Picu Krisis Lingkungan Baru: Saat Transisi Energi Berbalik Menyasar Alam

  • Writer: GRC Insight
    GRC Insight
  • Aug 7
  • 2 min read

Updated: Aug 7

ree

Di tengah dorongan global untuk meninggalkan bahan bakar fosil dan mengejar masa depan rendah karbon, teknologi hijau seperti mobil listrik dan energi surya justru memunculkan persoalan baru: krisis lingkungan dan sosial akibat tambang logam penting seperti lithium, kobalt, dan nikel.


Laporan terbaru dari BBC mengungkap bahwa ledakan permintaan global terhadap logam untuk baterai kendaraan listrik telah menciptakan tekanan besar terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, khususnya di negara-negara berkembang. Salah satu contohnya adalah Gurun Atacama di Chile, di mana ekstraksi lithium dilakukan melalui penguapan air asin (brine) yang menyedot jutaan liter air—mengancam cadangan air tanah dan keanekaragaman hayati lokal seperti flamingo.Di wilayah lain seperti Argentina dan Afrika, komunitas adat kerap kali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan perizinan proyek pertambangan. Mereka kehilangan akses terhadap lahan, air bersih, dan mata pencaharian, serta harus menanggung dampak pencemaran lingkungan tanpa perlindungan yang memadai dari negara maupun korporasi. Tambang yang seharusnya mendukung “energi bersih” justru menimbulkan konflik sosial dan potensi kerusakan ekologis permanen.


Fenomena ini menunjukkan bahwa transisi hijau ternyata tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Transisi energi yang selama ini dipromosikan sebagai solusi terhadap krisis iklim ternyata justru menghadirkan bentuk baru ekstraktivisme, dimana beban lingkungan berpindah dari negara industri ke negara sumber bahan baku.


Dalam konteks ini, Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia memainkan peran penting dalam rantai pasok global baterai lithium-ion. Namun, di balik posisinya yang strategis ini, terdapat berbagai persoalan serius yang muncul akibat ekspansi tambang nikel. Di wilayah Raja Ampat dan Halmahera, aktivitas pertambangan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dan pencemaran laut akibat sedimentasi dan limbah tambang. Di daratan, pembukaan lahan untuk tambang nikel memicu deforestasi besar-besaran, merusak hutan hujan tropis dan mangrove yang menjadi penyimpan karbon alami, sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar.


Tak hanya lingkungan, masyarakat lokal pun turut terdampak. Di Morowali Utara dan sejumlah kawasan tambang lain, eksploitasi nikel memicu bencana ekologis seperti banjir dan longsor, serta mencemari sumber air bersih. Banyak warga yang menggantungkan hidup dari alam kini kehilangan sumber penghidupan, sementara komunitas adat di sekitar tambang menghadapi tekanan akibat kehilangan akses atas tanah dan penurunan kualitas hidup yang drastis.


Kondisi ini menunjukkan bahwa transisi energi tidak cukup hanya ditopang oleh inovasi teknologi, tetapi harus disertai dengan kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara inklusif dan bertanggung jawab, dengan memperkuat perlindungan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan, serta mendorong pendekatan sirkular seperti daur ulang baterai agar ketergantungan terhadap tambang bisa dikurangi. Tanpa langkah ini, revolusi energi bersih dikhawatirkan justru menciptakan krisis lingkungan baru, yang sama destruktifnya dengan krisis iklim yang sedang coba kita atasi.


Pada akhirnya, dunia tidak hanya membutuhkan energi bersih, tetapi juga ekonomi hijau yang adil. Teknologi hijau tidak cukup hanya rendah karbon, tetapi juga harus rendah konflik dan rendah kerusakan lingkungan. Transisi menuju masa depan berkelanjutan bukan sekadar mengganti sumber energi, tetapi juga memperbaiki cara kita memperlakukan alam dan manusia di sepanjang rantai pasoknya.


Sumber:


 
 
bottom of page