Kenaikan PBB Drastis di Sejumlah Daerah Picu Protes: Fakta, Dampak, dan Tantangan Kebijakan Fiskal
- GRC Insight
- Aug 21
- 2 min read

Gelombang protes publik merebak dalam beberapa pekan terakhir setelah sejumlah pemerintah daerah tiba-tiba menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara drastis. Tagihan pajak yang biasanya stabil mendadak melonjak berkali-kali lipat, menimbulkan keterkejutan sekaligus keresahan di tengah masyarakat. Kasus paling menonjol terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana tarif PBB naik hingga 250 persen setelah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) diperbarui untuk pertama kalinya dalam 14 tahun. Kebijakan ini memicu demonstrasi besar dan akhirnya dibatalkan sehari setelah aksi protes warga.
Fenomena serupa juga muncul di sejumlah daerah lain. Di Cirebon, sebagian warga mendapati tagihan PBB melonjak hingga seribu persen, memaksa pemerintah kota membuka ruang dialog dan mengkaji ulang kebijakan. Di Jombang, Jawa Timur, protes berlangsung dengan cara unik: warga membayar pajak menggunakan koin sebagai bentuk simbolik ketidaksetujuan. Sementara di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, kenaikan tarif hingga 300 persen memicu aksi demonstrasi mahasiswa yang berujung bentrok dengan aparat keamanan.
Lonjakan PBB ini sejatinya tidak muncul tanpa sebab. Banyak pemerintah daerah sedang menghadapi tekanan fiskal akibat berkurangnya dana transfer dari pusat, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD), pemda dituntut lebih mandiri dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Namun, alih-alih mengembangkan strategi fiskal jangka panjang, banyak daerah memilih jalan pintas dengan menaikkan PBB sebagai sumber penerimaan instan.
Para ekonom menilai kebijakan ini sebagai langkah pragmatis namun berisiko. Ekonom Eko Listiyanto dari INDEF menekankan bahwa mayoritas daerah belum memiliki kapasitas fiskal mandiri yang kuat. Karena itu, ketika menghadapi krisis anggaran, respons yang paling mudah adalah menaikkan pajak, bukannya mendorong pertumbuhan ekonomi lokal terlebih dahulu. Pendekatan semacam ini bisa menimbulkan efek domino: keresahan sosial, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, hingga potensi penurunan kepatuhan pajak di masa depan.
Kenaikan PBB yang ekstrem pada akhirnya memperlihatkan persoalan struktural dalam tata kelola keuangan daerah. Di satu sisi, kebutuhan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) memang mendesak setelah transfer pusat dipangkas. Namun di sisi lain, langkah tergesa-gesa tanpa memperhitungkan daya tahan masyarakat justru kontraproduktif. Gelombang protes yang muncul menjadi bukti bahwa kebijakan fiskal tidak bisa semata-mata berorientasi pada penerimaan, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan keadilan.
Ke depan, pemerintah daerah perlu menata ulang strategi fiskalnya agar lebih berkelanjutan. Reformasi seperti digitalisasi data pajak, optimalisasi peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta pengembangan potensi ekonomi lokal perlu menjadi prioritas. Tanpa langkah-langkah tersebut, kenaikan PBB hanya akan menjadi solusi instan yang menambah beban masyarakat, alih-alih memperkuat fondasi fiskal daerah.
Sumber:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250814062819-532-1262235/mengapa-tiba-tiba-banyak-pemda-menaikkan-pbb-gila-gilaan-seperti-pati?