top of page

Survei WEF: 84% Perusahaan Global Tidak Siap Hadapi Ketidakpastian Ekonomi The Future Belongs to the Resilient

  • Writer: GRC Insight
    GRC Insight
  • Sep 3
  • 2 min read
ree

Survei World Economic Forum terhadap 250 eksekutif senior mengungkap fakta mengkhawatirkan: 84% perusahaan global merasa tidak siap menghadapi ketidakpastian ekonomi 2025. Bahkan lebih buruk lagi, 90% perusahaan mengaku kurang persiapan dalam membangun kemampuan ketahanan organisasi.


Laporan "Resilience Pulse Check" yang dirilis Januari 2025 ini menunjukkan teknologi sebagai ancaman utama kontinuitas bisnis. Keamanan siber dan kecerdasan buatan generatif menjadi kekhawatiran utama, diikuti perubahan regulasi dan dinamika pasar yang berubah. Inflasi dan volatilitas nilai tukar juga menciptakan tantangan serius bagi operasional perusahaan.


Masalah utama terletak pada pendekatan perusahaan yang cenderung reaktif dan berfokus jangka pendek. Sebagian besar organisasi memprioritaskan tindakan defensif seperti kontrol biaya dan keamanan data, namun mengabaikan strategi proaktif jangka panjang. Hanya 13% perusahaan yang mengintegrasikan indikator ketahanan secara komprehensif dalam strategi mereka.


Kesenjangan ini tampak jelas antar sektor. Industri keuangan, energi, dan media melaporkan kesiapan lebih baik berkat pengalaman krisis sebelumnya. Sebaliknya, sektor pertanian, logistik, dan manufaktur menunjukkan kerentanan tinggi karena ketergantungan pada aset fisik dan rantai pasokan.


Meski demikian, beberapa perusahaan menunjukkan pendekatan inovatif. IKEA mengintegrasikan keberlanjutan sebagai strategi ketahanan melalui program sirkularitas, berhasil mencegah 76 juta kilogram emisi CO2 dan memulihkan 16 juta kilogram material untuk daur ulang.


Investasi besar sedang mengalir ke berbagai sektor. Industri teknologi memproyeksikan 500 miliar dolar untuk AI generatif pada 2030, otomotif mengalokasikan 1,2 triliun dolar untuk kendaraan listrik, dan energi menginvestasikan 500 miliar dolar per tahun untuk proyek terbarukan.


Dukungan pemerintah terbukti vital. Mesir membuka 14,7 miliar dolar melalui program Nexus of Water, Food, and Energy, sementara Arab Saudi menargetkan 50% energi terbarukan pada 2030 dengan dukungan 235 miliar dolar dana publik.


Namun kolaborasi publik-swasta masih terbatas. Hanya 28% perusahaan terlibat kemitraan dengan sektor publik, dengan 89% melaporkan hambatan regulasi sebagai kendala utama. Padahal kolaborasi ini krusial untuk mengatasi empat area prioritas: akses modal, stabilitas makroekonomi, investasi berkelanjutan, dan adaptasi tenaga kerja.


Transformasi teknologi menciptakan tantangan besar. Diperkirakan 23% pekerjaan global akan berubah dalam lima tahun akibat AI, membutuhkan 34 miliar dolar hanya di AS untuk program peningkatan keterampilan. Arab Saudi melalui Saudi Digital Academy menunjukkan contoh persiapan sistematis menghadapi disrupsi teknologi.


Kepemimpinan resilient menjadi kunci. Survei menunjukkan hanya 46% pemimpin terbuka pada perspektif berbeda, 39% beradaptasi cepat dengan cara kerja baru, dan 40% bereksperimen dengan solusi baru. Kesenjangan ini harus segera diatasi untuk membangun organisasi yang tangguh.


Laporan ini menekankan perlunya transisi dari pendekatan reaktif ke proaktif. Tanpa integrasi ketahanan sebagai komponen inti strategi jangka panjang, perusahaan berisiko tertinggal menghadapi gelombang disrupsi yang terus menguat. Kolaborasi publik-swasta dan kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci sukses navigasi ketidakpastian global.


Sumber:


 
 
bottom of page