Tarif ‘Timbal Balik’ Trump: Ancaman Resesi dan Peluang Strategis bagi Indonesia
- GRC Insight
- May 15
- 3 min read
Updated: May 20
Ganesa Research & Consulting | April 2025

Pengenaan tarif impor tinggi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap lebih dari 180 negara termasuk Indonesia, telah memantik kecemasan atas potensi dampak besar terhadap perekonomian nasional. Kebijakan yang disebut sebagai tarif resiprokal ini, tak hanya menimbulkan risiko pelemahan ekspor, namun juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menata ulang strategi perdagangan dan industrinya.
Ancaman: Gelombang PHK dan Resesi Ekonomi
Ekspor Indonesia ke AS, khususnya dari sektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, mesin, dan perlengkapan elektrik, kini dihadapkan pada tarif setinggi 32%. Angka ini hanya terpaut sedikit dari tarif terhadap China (34%), dan masih lebih rendah dibandingkan Vietnam (46%) atau Kamboja (49%). Meski begitu, dampaknya terhadap industri domestik tetap signifikan.
Nilai ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Februari 2025 tercatat sebesar US$2,347 miliar, naik dari US$2,101 miliar pada Februari 2024. Secara kumulatif, total ekspor Indonesia ke AS pada Januari-Februari 2025 mencapai US$4,677 miliar, atau sekitar 11,35% dari total ekspor nonmigas nasional pada periode yang sama. Surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Februari 2025 juga meningkat menjadi US$1,57 miliar, dengan penyumbang utama dari mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) senilai US$291,1 juta, pakaian rajutan (HS 61) US$215 juta, dan alas kaki (HS 64) US$207,7 juta.
Menurut Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios), tingginya tarif ini berpotensi menurunkan ekspor, melemahkan penerimaan pajak, dan menyulitkan fiskal pemerintah untuk menyalurkan stimulus tambahan. Kombinasi tersebut dapat mendorong Indonesia menuju resesi pada kuartal IV 2025. Sektor otomotif dan elektrik menjadi sektor yang paling terancam, menyusul potensi pemutusan hubungan kerja dan penurunan kapasitas produksi yang signifikan.
Industri tekstil pun berada dalam posisi sulit. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyebut bahwa kombinasi tingginya tarif AS dan belum direvisinya kebijakan impor dalam negeri (Permendag 8/2024), memperburuk kondisi industri yang telah mengalami penurunan permintaan dan oversupply. Akibatnya, Indonesia terancam menjadi "tempat pembuangan" produk tekstil dari negara produsen besar seperti China, Bangladesh, dan Vietnam.
Dari sisi pengusaha, Wakil Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta, Nurjaman, menyoroti pentingnya diversifikasi pasar ekspor agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada AS. Ia juga menekankan perlunya stimulus dan perlindungan bagi industri padat karya, khususnya di daerah seperti Bandung, Cimahi, dan Bekasi yang sangat rentan terhadap dampak kebijakan ini.
Peluang: Meniru Strategi Vietnam
Namun, di balik bayang-bayang ancaman tersebut, terdapat peluang strategis yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Ekonom menyarankan pemerintah belajar dari pengalaman Vietnam, yang berhasil memanfaatkan ketegangan dagang AS-China pada 2019 untuk menarik investor dan mengalihkan rantai pasok global ke dalam negeri.
Data Kementerian Perdagangan mencatat bahwa AS tetap menjadi penyumbang surplus perdagangan nonmigas terbesar bagi Indonesia pada 2024, dengan nilai mencapai US$16,08 miliar. Ini menunjukkan bahwa pasar AS masih relevan dan penting, sehingga strategi penguatan produk bernilai tambah tinggi dan negosiasi perdagangan bilateral perlu segera dioptimalkan.
Respons Pemerintah: Langkah Konkret dan Diplomasi Aktif
Pemerintah Indonesia, bersama Bank Indonesia, telah menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi tarif resiprokal AS. Langkah konkret yang diambil antara lain menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memastikan likuiditas valas untuk pelaku usaha, serta melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS melalui delegasi tingkat tinggi di Washington DC. Tim lintas kementerian dan lembaga juga telah berkoordinasi intensif untuk merespons kebijakan ini.
Presiden Prabowo menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan deregulasi dan penyederhanaan regulasi yang menghambat, khususnya terkait Non-Tariff Barrier, guna meningkatkan daya saing dan menarik investasi. Pemerintah juga berkomunikasi dengan Malaysia selaku Ketua ASEAN untuk mengambil langkah bersama, mengingat seluruh negara ASEAN terdampak tarif AS.
Kebijakan tarif 'timbal balik' Trump memaksa Indonesia untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berevolusi. Di tengah tekanan, ada ruang untuk reposisi industri dan penyesuaian kebijakan ekspor-impor. Indonesia perlu mempercepat diversifikasi pasar, memperkuat daya saing produk, dan menjalin kemitraan strategis baru untuk keluar dari badai tarif global ini dengan lebih tangguh dan siap bersaing.